Alkisah ada dua orang anak laki-laki, Bob dan Bib, yang sedang melewati
lembah permen lolipop. Di tengah lembah itu terdapat jalan setapak yang
beraspal. Di jalan itulah Bob dan Bib berjalan kaki bersama.
Uniknya, di kiri-kanan jalan lembah itu terdapat banyak permen lolipop
yang berwarni-warni dengan aneka rasa.
Permen-permen yang terlihat seperti berbaris itu seakan menunggu
tangan-tangan kecil Bob dan Bib untuk mengambil dan menikmati kelezatan
mereka.
Bob sangat kegirangan melihat banyaknya permen lolipop yang bisa diambil.
Maka ia pun sibuk mengumpulkan permen-permen tersebut. Ia mempercepat
jalannya supaya bisa mengambil permen lolipop lainnya yang terlihat sangat
banyak didepannya. Bob mengumpulkan sangat banyak permen lollipop yang ia
simpan di dalam tas karungnya. Ia sibuk mengumpulkan permen-permen tersebut
tapi sepertinya permen-permen tersebut tidak pernah habis maka ia memacu
langkahnya supaya bisa mengambil semua permen yang dilihatnya.
Tanpa terasa Bob sampai di ujung jalan lembah permen lolipop. Dia melihat
gerbang bertuliskan "Selamat Jalan".
Itulah batas akhir lembah permen lolipop. Di ujung jalan, Bob bertemu
seorang lelaki penduduk sekitar. Lelaki itu bertanya kepada Bob, "Bagaimana
perjalanan kamu di lembah permen lolipop? Apakah permen-permennya lezat?
Apakah kamu mencoba yang rasa jeruk? Itu rasa yang paling disenangi. Atau kamu
lebih menyukai rasa mangga? Itu juga sangat lezat."
Bob terdiam mendengar pertanyaan lelaki tadi. Ia merasa sangat lelah dan
kehilangan tenaga. Ia telah berjalan sangat cepat dan membawa begitu banyak
permen lolipop yang terasa berat di dalam tas karungnya.
Tapi ada satu hal yang membuatnya merasa terkejut dan ia pun menjawab
pertanyaan lelaki itu, "Permennya saya lupa makan!"
Tak berapa lama kemudian, Bib sampai di ujung jalan lembah permen
lolipop.
"Hai, Bob! Kamu berjalan cepat sekali. Saya memanggil-manggil kamu tapi
kamu sudah sangat jauh di depan saya."
"Kenapa kamu memanggil saya?" Tanya Bob.
"Saya ingin mengajak kamu duduk dan makan permen anggur bersama. Rasanya
lezat sekali. Juga saya menikmati pemandangan lembah, Indah sekali!"
Bib bercerita panjang lebar kepada Bob.
"Lalu tadi ada seorang kakek tua yang sangat kelelahan. Saya temani dia
berjalan. Saya beri dia beberapa permen yang ada di tas saya. Kami makan
bersama dan dia banyak menceritakan hal-hal yang lucu. Kami tertawa
bersama." Bib menambahkan.
Mendengar cerita Bib, Bob menyadari betapa banyak hal yang telah ia
lewatkan dari lembah permen lolipop yg sangat indah. Ia terlalu sibuk mengumpulkan
permen-permen itu. Tapi pun ia sampai lupa memakannya dan tidak punya waktu
untuk menikmati kelezatannya karena ia begitu sibuk memasukkan semua permen
itu ke dalam tas karungnya.
Di akhir perjalanannya di lembah permen lolipop, Bob menyadari suatu hal
dan ia bergumam kepada dirinya sendiri, "Perjalanan ini bukan tentang berapa
banyak permen yang telah saya kumpulkan. Tapi tentang bagaimana saya menikmatinya
dengan berbagi dan berbahagia."Ia pun berkata dalam hati,
"Waktu tidak bisa diputar kembali." Perjalanan di lembah lolipop sudah
berlalu dan Bob pun harus melanjutkan kembali perjalanannya.
_____________________
______________
_____________________
Dalam kehidupan kita, banyak hal yang ternyata kita lewati begitu saja.
Kita lupa untuk berhenti sejenak dan menikmati kebahagiaan hidup. Kita menjadi
Bob di lembah permen lolipop yang sibuk mengumpulkan permen tapi lupa untuk
menikmatinya dan menjadi bahagia.
Pernahkan Anda bertanya kapan waktunya untuk merasakan bahagia?
Jika saya tanyakan pertanyaan tersebut kepada para klien saya, biasanya
mereka menjawab, "Saya akan bahagia nanti... nanti pada waktu saya sudah menikah...nanti pada waktu saya memiliki rumah sendiri... nanti pada saat suami saya lebih mencintai saya... nanti pada saat saya telah meraih semua impian saya... nanti pada saatpenghasilan sudah sangat besar... "
Pemikiran ¡nanti' itu membuat kita bekerja sangat keras di saat¡sekarang'.
Semuanya itu supaya kita bisa mencapai apa yang kita konsepkan tentang
masa ¡nanti' bahagia.
Terkadang jika saya renungkan hal tersebut, ternyata kita telah
mengorbankan begitu banyak hal dalam hidup ini untuk masa ¡nanti' bahagia.
Ritme kehidupan kita menjadi sangat cepat tapi rasanya tidak pernah
sampai di masa ¡nanti' bahagia itu.
Ritme hidup yang sangat cepat... target-target tinggi yang harus kita
capai, yang anehnya kita sendirilah yang membuat semua target itu... tetap semuanya
itu tidak pernah terasa memuaskan dan membahagiakan.
Uniknya, pada saat kita memelankan ritme kehidupan kita; pada saat kita duduk
menikmati keindahan pohon bonsai di beranda depan, pada saat kita
mendengarkan cerita lucu anak-anak kita, pada saat makan malam bersama keluarga, pada
saat kita duduk berdiam atau pada saat membagikan beras dalam acara bakti sosial
tanggap banjir; terasa hidup menjadi lebih indah.
Jika saja kita mau memelankan ritme hidup kita dengan penuh kesadaran; memelankan ritme makan kita, memelankan ritme jalan kita dan menyadari setiap gerak tubuh kita, berhenti sejenak dan memperhatikan tawa Indah anak-anak bahkan menyadari setiap hembusan nafas maka kita akan menyadari begitu banyak detil kehidupan yang begitu indah dan bisa disyukuri.
Kita akan merasakan ritme yang berbeda dari kehidupan yang ternyata jauh
lebih damai dan tenang.Dan pada akhirnya akan membawa kita menjadi lebih bahagia dan bersyukur seperti Bib yang melewati perjalanannya di lembah permen lolipop.
Minggu, Desember 21, 2008
Sirkus (Nice Story)
Bagian hidup yang terbaik dari kehidupan seseorang yang baik adalah tindakan-tindakannya yang kecil, tak bernama dan tidak pernah diingat mengenai kebaikan dan cinta.
William Wordswort
William Wordswort
Pada suatu saat ketika saya masih berumur belasan tahun, ayah dan saya berdiri di antrian untuk membeli tiket pertunjukan sirkus. Akhirnya, hanya tinggal sebuah keluarga di antara kami dan counter tiket. Keluarga tersebut memberikan kesan yang sangat mendalam dalam diri saya. Keluarga itu mempunyai delapan anak, boleh jadi semuanya masih berumur dibawah 12 tahun. Anda bisa mengatakan kalau mereka tidak mempunyai banyak uang. Pakaian mereka tidak mahal, tetapi bersih. Anak-anaknya mempunyai sikap yang sangat baik, semuanya berdiri antri dengan tertib, dua-dua di belakang orang tua mereka, sambil bergandengan tangan. Mereka semua sangat antusias berbicara tentang badut-badut sirkus, gajah, dan hal-hal lain yang akan mereka lihat malam itu. Orang pasti merasa kalau mereka semua belum pernah melihat sirkus sebelumnya. Nampaknya malam itu akan menjadi momen yang sangat penting dalam kehidupan masa remaja mereka.
Sang ayah dan ibu berada di depan, berdiri dengan bangga. Sang ibu memegang tangan suaminya, menatapnya seolah mengatakan, ”Kau adalah ksatriaku dalam pakaian baja yang bersinar.” sang suami tersenyum dan penuh kebanggaan, menatapnya seolah-olah menjawab, ”Memang benar.”
Penjual tiket itu lalu mengatakan harga tiket yang harus di bayar. Istri lelaki tersebut melepaskan tangan suaminya, kepalanya terkulai, bibir lelaki itu nampak mulai gemetar. Sang ayah lalu mendekat sambil memiringkan tubuhnya dan berkata, ”Berapa?”
Kembali penjual tiket itu mengatakan harganya.
Uang lelaki itu tidak cukup untuk membayarnya.
Apa yang akan terjadi seandainya dia berbalik dan mengatakan kepada kedelapan anaknya bahwa dia tidak mempunyai cukup uang untuk membawa mereka melihat sirkus?
Mengetahui apa yang terjadi, ayah saya memasukkan tangan ke saku celananya, mengambil uang 20 dolar dan menjatuhkannya ke lantai. (Kami sama sekali tdak kaya!) Ayah saya membungkuk, mengambil uang tersebut, dan menepuk bahu lelaki itu dan menggatakan, ”Maaf, pak, uang ini jatuh dari saku Anda.”
Lelaki itu mengetahui maksud ayah saya. Jelas dia tidak ingin minta bantuan tetapi yang pasti dia sangat menghargai bantuan tersebut dalam situasi yang putus asa, menyedihkan, dan juga memalukan. Dia menatap mata ayah saya secara langsung, menyambut tangan ayah ke dalam kedua tangannya, menggenggam erat uang 20 dolar tersebut, dan dengan bibir gemetar dan air mata membasahi pipinya, dia menjawab, ”Terima kasih, terima kasih, pak. Uang ini sangat berarti bagi saya dan keluarga saya.”
Ayah saya dan saya kembali masuk ke dalam mobil dan langsung pulang. Kami tidak jadi nonton sirkus malam itu, tetapi kami merasa senang.
Sang ayah dan ibu berada di depan, berdiri dengan bangga. Sang ibu memegang tangan suaminya, menatapnya seolah mengatakan, ”Kau adalah ksatriaku dalam pakaian baja yang bersinar.” sang suami tersenyum dan penuh kebanggaan, menatapnya seolah-olah menjawab, ”Memang benar.”
Penjual tiket itu lalu mengatakan harga tiket yang harus di bayar. Istri lelaki tersebut melepaskan tangan suaminya, kepalanya terkulai, bibir lelaki itu nampak mulai gemetar. Sang ayah lalu mendekat sambil memiringkan tubuhnya dan berkata, ”Berapa?”
Kembali penjual tiket itu mengatakan harganya.
Uang lelaki itu tidak cukup untuk membayarnya.
Apa yang akan terjadi seandainya dia berbalik dan mengatakan kepada kedelapan anaknya bahwa dia tidak mempunyai cukup uang untuk membawa mereka melihat sirkus?
Mengetahui apa yang terjadi, ayah saya memasukkan tangan ke saku celananya, mengambil uang 20 dolar dan menjatuhkannya ke lantai. (Kami sama sekali tdak kaya!) Ayah saya membungkuk, mengambil uang tersebut, dan menepuk bahu lelaki itu dan menggatakan, ”Maaf, pak, uang ini jatuh dari saku Anda.”
Lelaki itu mengetahui maksud ayah saya. Jelas dia tidak ingin minta bantuan tetapi yang pasti dia sangat menghargai bantuan tersebut dalam situasi yang putus asa, menyedihkan, dan juga memalukan. Dia menatap mata ayah saya secara langsung, menyambut tangan ayah ke dalam kedua tangannya, menggenggam erat uang 20 dolar tersebut, dan dengan bibir gemetar dan air mata membasahi pipinya, dia menjawab, ”Terima kasih, terima kasih, pak. Uang ini sangat berarti bagi saya dan keluarga saya.”
Ayah saya dan saya kembali masuk ke dalam mobil dan langsung pulang. Kami tidak jadi nonton sirkus malam itu, tetapi kami merasa senang.
Senin, November 10, 2008
All About Apple Tree
Suatu masa, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang dedaunan. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.
“Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu.
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.
“Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… Tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang.
“Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel.
“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?”
“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
“Ayo bermain-main lagi denganku,” kata pohon apel.
“Aku sedih,” kata anak lelaki itu. “Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.” sahut pohon apel.
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang-batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
“Maaf anakku,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel.
“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” Kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki. “Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.”
“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring! Peluklah akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.” jawab pohon apel.
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
—
Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.
Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.
Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita. Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.
Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.
Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.
“Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon apel itu.
“Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.
“Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.”
Pohon apel itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… Tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.”
Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.
Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang.
“Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon apel.
“Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?”
“Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon apel.
Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.
“Ayo bermain-main lagi denganku,” kata pohon apel.
“Aku sedih,” kata anak lelaki itu. “Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?”
“Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.” sahut pohon apel.
Kemudian, anak lelaki itu memotong batang-batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.
Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.
“Maaf anakku,” kata pohon apel itu. “Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.”
“Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon apel.
“Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.
“Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” Kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata.
“Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki. “Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.”
“Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring! Peluklah akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.” jawab pohon apel.
Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.
—
Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.
Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.
Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita. Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.
Kamis, Oktober 30, 2008
Kisah Nyata - Pengorbanan & Kebesaran Jiwa Seorang IBU..
Kejadian ini terjadi di sebuah kota kecil di Taiwan , tahun berapaan gue udeh lupa. Dan sempat dipublikasikan lewat media cetak dan electronic.
Ada seorang pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewe2 yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah di promosikan ke posisi manager. Gaji-nya pun lumayan.
Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor. Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman2 kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewe2 jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.
Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan belakang, Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul2 seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting. Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be.
Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan routine layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu2-nya A be. Namun A be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya.
Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa WANITA CACAT dirumahnya, A be selalu menjawab WANITA itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. "Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan." jawab A be.
Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang IBU. Tentu saja IBUnya sedih skali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mngurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali).
Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan dirumah. Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari Ibunya, A be melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang Seorang WANITA berjiwa Pahlawan yang telah menyelamatkan Anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat Anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang WANITA...IBU MUDA menderita luka bakar cukup serius sedang anak dlm dekapannya tidak terluka sedikitpun.
Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa IBU MUDA cantik di dalam foto dan siapa WANITA Pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A be menetes keluar tanpa bisa di bendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. " Yang sudah- nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi".
Setelah sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja kesupermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek.Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (Wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam media cetak dan elektronik.
Ada seorang pemuda bernama A be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yg cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat cewe2 yang kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan swasta, dia sudah di promosikan ke posisi manager. Gaji-nya pun lumayan.
Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor. Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat banyak teman2 kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari kalangan cewe2 jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.
Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering. Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan belakang, Tergerai seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita tua ini betul2 seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan penting. Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be.
Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan routine layaknya ibu rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur, cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan perhatian yang besar kepada anak satu2-nya A be. Namun A be adalah seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya.
Setiap kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa WANITA CACAT dirumahnya, A be selalu menjawab WANITA itu adalah pembantu yang ikut Ibunya dulu sebelum meninggal. "Dia tidak punya saudara, jadi saya tampung, kasihan." jawab A be.
Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang IBU. Tentu saja IBUnya sedih skali. Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A be mulai kerepotan mngurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian, menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun ada mahal sekali).
Hal ini membuat A be jadi BT (bad temper) dan uring-uringan dirumah. Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak lemari Ibunya, A be melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti dugaan A be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik. Potongan koran usang memberitakan tentang Seorang WANITA berjiwa Pahlawan yang telah menyelamatkan Anaknya dari musibah kebakaran. Dengan memeluk erat Anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang WANITA...IBU MUDA menderita luka bakar cukup serius sedang anak dlm dekapannya tidak terluka sedikitpun.
Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk mengetahui siapa IBU MUDA cantik di dalam foto dan siapa WANITA Pahlawan yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A be. Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A be menetes keluar tanpa bisa di bendung. Dengan menggenggam foto dan koran usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas dosa-dosanya selama ini. Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan ketulusan hati anaknya. " Yang sudah- nak, Ibu sudah maafkan. Jangan di ungkit lagi".
Setelah sembuh, A be bahkan berani membawa Ibunya belanja kesupermarket. Walau menjadi pusat perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek.Kemudian peristiwa ini menarik perhatian kuli tinta (Wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam media cetak dan elektronik.
Sabtu, Oktober 25, 2008
Ada sebuah cerita mengenai dua orang sahabat yang berjalan melalui gurun pasir.
Pada suatu kali dalam perjalanan itu, mereka bertengkar,dan salah seorang dari mereka menampar pipi yang lain.
Orang yang mendapat tamparan terluka hatinya, tapi dengan tanpa
mengatakan sepatah kata pun, ia menulis di pasir: “HARI INI TEMAN BAIKKU MENAMPAR PIPIKU”.Mereka melanjutkan perjalanan sampai menemukan sebuah oasis, dimana mereka memutuskan untuk mandi di sana. Waktu itu orang yang menerima
tamparan dan sakit hatinya, tenggelam dan temannya berhasil
menyelamatkannya. Setelah pulih dari rasa takutnya, ia menulis di sebuah
batu: “HARI INI TEMAN BAIKKU MENYELAMATKAN NYAWAKU”.
Teman yang telah menampar dan menyelamatkan sahabatnya, bertanya,”Mengapa setelah saya menyakitimu kamu menulis di pasir, dan sekarang kamu menulis di batu?”
Yang ditanya tersenyum dan menjawab: “Saat seorang teman menyakiti kita, kita harus menuliskannya di pasir, dimana angin maaf akan bertugas
menghapusnya, dan saat sesuatu yang hebat terjadi, kita harus memahatnya di batu kenangan di hati, dimana tidak ada angin yang dapat menghapusnya.”Belajarlah untuk menulis di pasir.
Pada suatu kali dalam perjalanan itu, mereka bertengkar,dan salah seorang dari mereka menampar pipi yang lain.
Orang yang mendapat tamparan terluka hatinya, tapi dengan tanpa
mengatakan sepatah kata pun, ia menulis di pasir: “HARI INI TEMAN BAIKKU MENAMPAR PIPIKU”.Mereka melanjutkan perjalanan sampai menemukan sebuah oasis, dimana mereka memutuskan untuk mandi di sana. Waktu itu orang yang menerima
tamparan dan sakit hatinya, tenggelam dan temannya berhasil
menyelamatkannya. Setelah pulih dari rasa takutnya, ia menulis di sebuah
batu: “HARI INI TEMAN BAIKKU MENYELAMATKAN NYAWAKU”.
Teman yang telah menampar dan menyelamatkan sahabatnya, bertanya,”Mengapa setelah saya menyakitimu kamu menulis di pasir, dan sekarang kamu menulis di batu?”
Yang ditanya tersenyum dan menjawab: “Saat seorang teman menyakiti kita, kita harus menuliskannya di pasir, dimana angin maaf akan bertugas
menghapusnya, dan saat sesuatu yang hebat terjadi, kita harus memahatnya di batu kenangan di hati, dimana tidak ada angin yang dapat menghapusnya.”Belajarlah untuk menulis di pasir.
Kasih Sayang Mama Yang Tiada Tara...........
T I G A K A R U N G B E R A S
Ini adalah makanan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kisah ini adalah kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki seorang anak laki-laki. Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah ibu dan anak laki-lakinya untuk saling menopang. Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak.
Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas. Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah sehingga tidak bisa lagi bekerja disawah.
Saat itu setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa tiga puluh kg beras tuk dibawa kekantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibunya tidaklah mungkin bisa memberikan tiga puluh kg beras tersebut.
Dan kemudian berkata kepada ibunya "Ma, saya mau berhenti sekolah dan membantu mama bekerja disawah". Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata "Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan kesekolah nanti berasnya mama yang akan bawa kesana". Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan kesekolah, mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh mamanya.
Sang anak akhirnya pergi juga kesekolah. Sang ibunya terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh. Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa Ibunya datang kekantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya. pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata "Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat, disini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini tempat penampungan beras campuran". Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut.
Awal Bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk kedalam kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata: "Masih dengan beras yang sama". Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian berkata : "Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna. Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya"
Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata "Kamu sebagai mama kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama. Bawa pulang saja berasmu itu !". Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata: "Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis".
Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata "Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi." Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada dikampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya. Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi kekampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali kekampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan kesekolah.
Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata "Bu sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu." Sang ibu buru- buru menolak dan berkata "Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya, maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini."
Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam- diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut selama tiga tahun. Tiga tahun kemudian, sang anak tersebut lulus masuk ke perguruan tinggi Qing hua dengan nilai 627 point.
Dihari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini duduk diatas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang. Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras. Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah. Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata : "Inilah sang ibu dalam cerita tadi." Dan mempersilakan sang ibu yang sangat luar biasa tersebut untuk naik keatas mimbar. Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat kebelakang dan melihat gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan. Pandangan mama yang hangat dan lembut kepada anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat mamanya dan berkata "Oh Mamaku......
Pepatah mengatakan: "Kasih ibu sepanjang masa, sepanjang jaman dan sepanjang kenangan". Inilah kasih seorang mama yang terus dan terus memberi kepada anaknya tak mengharapkan kembali dari sang anak. Hati mulia seorang mama demi menghidupi sang anak berkerja tak kenal lelah dengan satu harapan sang anak mendapatkan kebahagian serta sukses dimasa depannya. Mulai sekarang, katakanlah kepada mama dimanapun mama kita berada dengan satu kalimat "Terimakasih Mama.. Aku Mencintaimu, Aku Mengasihimu. .. selamanya"
T I G A K A R U N G B E R A S
Ini adalah makanan yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kisah ini adalah kisah nyata sebuah keluarga yang sangat miskin, yang memiliki seorang anak laki-laki. Ayahnya sudah meninggal dunia, tinggalah ibu dan anak laki-lakinya untuk saling menopang. Saat membaca buku, sang anak tersebut diterangi sinar lampu minyak, sedangkan ibunya dengan penuh kasih menjahitkan baju untuk sang anak.
Saat memasuki musim gugur, sang anak memasuki sekolah menengah atas. Tetapi justru saat itulah ibunya menderita penyakit rematik yang parah sehingga tidak bisa lagi bekerja disawah.
Saat itu setiap bulannya murid-murid diharuskan membawa tiga puluh kg beras tuk dibawa kekantin sekolah. Sang anak mengerti bahwa ibunya tidaklah mungkin bisa memberikan tiga puluh kg beras tersebut.
Dan kemudian berkata kepada ibunya "Ma, saya mau berhenti sekolah dan membantu mama bekerja disawah". Ibunya mengelus kepala anaknya dan berkata "Kamu memiliki niat seperti itu mama sudah senang sekali tetapi kamu harus tetap sekolah. Jangan khawatir, kalau mama sudah melahirkan kamu, pasti bisa merawat dan menjaga kamu. Cepatlah pergi daftarkan kesekolah nanti berasnya mama yang akan bawa kesana". Karena sang anak tetap bersikeras tidak mau mendaftarkan kesekolah, mamanya menampar sang anak tersebut. Dan ini adalah pertama kalinya sang anak ini dipukul oleh mamanya.
Sang anak akhirnya pergi juga kesekolah. Sang ibunya terus berpikir dan merenung dalam hati sambil melihat bayangan anaknya yang pergi menjauh. Tak berapa lama, dengan terpincang-pincang dan nafas tergesa-gesa Ibunya datang kekantin sekolah dan menurunkan sekantong beras dari bahunya. pengawas yang bertanggung jawab menimbang beras dan membuka kantongnya dan mengambil segenggam beras lalu menimbangnya dan berkata "Kalian para wali murid selalu suka mengambil keuntungan kecil, kalian lihat, disini isinya campuran beras dan gabah. Jadi kalian kira kantin saya ini tempat penampungan beras campuran". Sang ibu ini pun malu dan berkali-kali meminta maaf kepada ibu pengawas tersebut.
Awal Bulan berikutnya ibu memikul sekantong beras dan masuk kedalam kantin. Ibu pengawas seperti biasanya mengambil sekantong beras dari kantong tersebut dan melihat. Masih dengan alis yang mengerut dan berkata: "Masih dengan beras yang sama". Pengawas itupun berpikir, apakah kemarin itu dia belum berpesan dengan Ibu ini dan kemudian berkata : "Tak perduli beras apapun yang Ibu berikan kami akan terima tapi jenisnya harus dipisah jangan dicampur bersama, kalau tidak maka beras yang dimasak tidak bisa matang sempurna. Selanjutnya kalau begini lagi, maka saya tidak bisa menerimanya"
Awal bulan ketiga, sang ibu datang kembali kesekolah. Sang pengawas kembali marah besar dengan kata-kata kasar dan berkata "Kamu sebagai mama kenapa begitu keras kepala, kenapa masih tetap membawa beras yang sama. Bawa pulang saja berasmu itu !". Dengan berlinang air mata sang ibu pun berlutut di depan pengawas tersebut dan berkata: "Maafkan saya bu, sebenarnya beras ini saya dapat dari mengemis".
Setelah mendengar kata sang ibu, pengawas itu kaget dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu tersebut menghapus air mata dan berkata "Saya menderita rematik stadium terakhir, bahkan untuk berjalan pun susah, apalagi untuk bercocok tanam. Anakku sangat mengerti kondisiku dan mau berhenti sekolah untuk membantuku bekerja disawah. Tapi saya melarang dan menyuruhnya bersekolah lagi." Selama ini dia tidak memberi tahu sanak saudaranya yang ada dikampung sebelah. Lebih-lebih takut melukai harga diri anaknya. Setiap hari pagi-pagi buta dengan kantong kosong dan bantuan tongkat pergi kekampung sebelah untuk mengemis. Sampai hari sudah gelap pelan-pelan kembali kekampung sendiri. Sampai pada awal bulan semua beras yang terkumpul diserahkan kesekolah.
Pada saat sang ibu bercerita, secara tidak sadar air mata Pengawas itupun mulai mengalir, kemudian mengangkat ibu tersebut dari lantai dan berkata "Bu sekarang saya akan melapor kepada kepala sekolah, supaya bisa diberikan sumbangan untuk keluarga ibu." Sang ibu buru- buru menolak dan berkata "Jangan, kalau anakku tahu ibunya pergi mengemis untuk sekolah anaknya, maka itu akan menghancurkan harga dirinya. Dan itu akan mengganggu sekolahnya. Saya sangat terharu dengan kebaikan hati ibu pengawas, tetapi tolong ibu bisa menjaga rahasia ini."
Akhirnya masalah ini diketahui juga oleh kepala sekolah. Secara diam- diam kepala sekolah membebaskan biaya sekolah dan biaya hidup anak tersebut selama tiga tahun. Tiga tahun kemudian, sang anak tersebut lulus masuk ke perguruan tinggi Qing hua dengan nilai 627 point.
Dihari perpisahan sekolah, kepala sekolah sengaja mengundang ibu dari anak ini duduk diatas tempat duduk utama. Ibu ini merasa aneh, begitu banyak murid yang mendapat nilai tinggi, tetapi mengapa hanya ibu ini yang diundang. Yang lebih aneh lagi disana masih terdapat tiga kantong beras. Pengawas sekolah tersebut akhirnya maju kedepan dan menceritakan kisah sang ibu ini yang mengemis beras demi anaknya bersekolah. Kepala sekolah pun menunjukkan tiga kantong beras itu dengan penuh haru dan berkata : "Inilah sang ibu dalam cerita tadi." Dan mempersilakan sang ibu yang sangat luar biasa tersebut untuk naik keatas mimbar. Anak dari sang ibu tersebut dengan ragu-ragu melihat kebelakang dan melihat gurunya menuntun mamanya berjalan keatas mimbar. Sang ibu dan sang anakpun saling bertatapan. Pandangan mama yang hangat dan lembut kepada anaknya. Akhirnya sang anak pun memeluk dan merangkul erat mamanya dan berkata "Oh Mamaku......
Pepatah mengatakan: "Kasih ibu sepanjang masa, sepanjang jaman dan sepanjang kenangan". Inilah kasih seorang mama yang terus dan terus memberi kepada anaknya tak mengharapkan kembali dari sang anak. Hati mulia seorang mama demi menghidupi sang anak berkerja tak kenal lelah dengan satu harapan sang anak mendapatkan kebahagian serta sukses dimasa depannya. Mulai sekarang, katakanlah kepada mama dimanapun mama kita berada dengan satu kalimat "Terimakasih Mama.. Aku Mencintaimu, Aku Mengasihimu. .. selamanya"
toko suami
Sebuah toko yang menjual suami baru saja dibuka di kota New York dimana wanita dapat memilih suami.
Diantara instruksi2 yang ada di pintu masuk terdapat instruksi yang menunjukkan bagaimana aturan main untuk masuk toko tersebut. "Kamu hanya dapat mengunjungi toko ini SATU KALI".
Toko tersebut terdiri dari 6 lantai dimana setiap lantai akan menunjukkan sebuah calon kelompok suami.
Semakin tinggi lantainya, semakin tinggi pula nilai lelaki tersebut. Bagaimanapun, ini adalah semacam jebakan. Kamu dapat memilih lelaki di
lantai tertentu atau lebih memilih ke lantai berikutnya tetapi dengan syarat tidak bisa turun ke lantai sebelumnya kecuali untuk keluar dari toko .... Lalu, seorang wanita pun pergi ke toko "suami" tersebut untuk mencari suami ....
Di lantai 1 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 1 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan dan taat pada Tuhan. Wanita itu tersenyum, kemudian dia naik ke lantai selanjutnya.
Di lantai 2 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 2 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, dan senang anak kecil.
Kembali wanita itu naik ke lantai selanjutnya.
Di lantai 3 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 3 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan,senang anak kecil dan cakep banget.
'' Wow'', tetapi pikirannya masih penasaran dan terus naik.
Lalu sampailah wanita itu di lantai 4 dan terdapat tulisan Lantai 4 :
Lelaki di lantai ini yang memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil, cakep banget dan suka membantu pekerjaan rumah.
''Ya ampun !'' Dia berseru, ''Aku hampir tak percaya''.
Dan dia tetap melanjutkan ke lantai 5 dan terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 5 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil, cakep banget, suka membantu pekerjaan rumah, dan memiliki rasa romantis.
Dia tergoda untuk berhenti tapi kemudian dia melangkah kembali ke lantai 6 dan terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 6 : Anda adalah pengunjung yang ke 4.363.012. Tidak ada lelaki di lantai ini. Lantai ini hanya semata-mata bukti untuk wanita yang tidak pernah puas.
Terima kasih telah berbelanja di toko "Suami". Hati-hati ketika keluar toko dan semoga hari yang indah buat anda.
inti nya : merasa bersyukur aja sama yang dipunya. jgn we wan more terus...
coz nothings perfect
Diantara instruksi2 yang ada di pintu masuk terdapat instruksi yang menunjukkan bagaimana aturan main untuk masuk toko tersebut. "Kamu hanya dapat mengunjungi toko ini SATU KALI".
Toko tersebut terdiri dari 6 lantai dimana setiap lantai akan menunjukkan sebuah calon kelompok suami.
Semakin tinggi lantainya, semakin tinggi pula nilai lelaki tersebut. Bagaimanapun, ini adalah semacam jebakan. Kamu dapat memilih lelaki di
lantai tertentu atau lebih memilih ke lantai berikutnya tetapi dengan syarat tidak bisa turun ke lantai sebelumnya kecuali untuk keluar dari toko .... Lalu, seorang wanita pun pergi ke toko "suami" tersebut untuk mencari suami ....
Di lantai 1 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 1 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan dan taat pada Tuhan. Wanita itu tersenyum, kemudian dia naik ke lantai selanjutnya.
Di lantai 2 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 2 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, dan senang anak kecil.
Kembali wanita itu naik ke lantai selanjutnya.
Di lantai 3 terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 3 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan,senang anak kecil dan cakep banget.
'' Wow'', tetapi pikirannya masih penasaran dan terus naik.
Lalu sampailah wanita itu di lantai 4 dan terdapat tulisan Lantai 4 :
Lelaki di lantai ini yang memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil, cakep banget dan suka membantu pekerjaan rumah.
''Ya ampun !'' Dia berseru, ''Aku hampir tak percaya''.
Dan dia tetap melanjutkan ke lantai 5 dan terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 5 : Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak kecil, cakep banget, suka membantu pekerjaan rumah, dan memiliki rasa romantis.
Dia tergoda untuk berhenti tapi kemudian dia melangkah kembali ke lantai 6 dan terdapat tulisan seperti ini :
Lantai 6 : Anda adalah pengunjung yang ke 4.363.012. Tidak ada lelaki di lantai ini. Lantai ini hanya semata-mata bukti untuk wanita yang tidak pernah puas.
Terima kasih telah berbelanja di toko "Suami". Hati-hati ketika keluar toko dan semoga hari yang indah buat anda.
inti nya : merasa bersyukur aja sama yang dipunya. jgn we wan more terus...
coz nothings perfect
Rabu, September 17, 2008
Kisah di musim dingin ( true story, seperti temuat dalam Xia Wen Pao, 2007 )
Siu Lan, seorang janda miskin memiliki seorang putri kecil berumur 7 tahun, Lie Mei. Kemiskinan memaksanya untuk membuat sendiri kue-kue dan
menjajakannya di pasar untuk biaya hidup berdua. Hidup penuh kekurangan membuat Lie Mei tidak pernah bermanja-manja pada ibunya, seperti anak kecil
lain.
Suatu ketika dimusim dingin, saat selesai membuat kue, Siu Lan melihat keranjang penjaja kuenya sudah rusak berat. Dia berpesan agar Lie Mei menunggu
di rumah karena dia akan membeli keranjang kue yang baru.
Pulang dari membeli keranjang kue, Siu Lan menemukan pintu rumah tidak terkunci dan Lie Mei tidak ada di rumah. Marahlah Siu Lan.Putrinya benar-benar
tidak tahu diri, sudah hidup susah masih juga pergi bermain dengan teman-temannya. Lie Mei tidak menunggu rumah seperti pesannya.
Siu Lan menyusun kue kedalam keranjang, dan pergi keluar rumah untuk menjajakannya. Dinginnya salju yang memenuhi jalan tidak menyurutkan niatnya
untuk menjual kue. Bagaimana lagi ? Mereka harus dapat uang untuk makan.
Sebagai hukuman bagi Lie Mei, putrinya, pintu rumah dikunci Siu Lan dari luar agar Lie Mei tidak bisa pulang. Putri kecil itu harus diberi pelajaran, pikirnya
geram. Lie Mei sudah berani kurang ajar.
Sepulang menjajakan kue, Siu Lan menemukan Lie Mei, gadis kecil itu tergeletak di depan pintu. Siu Lan berlari memeluk Lie Mei yang membeku dan sudah
tidak bernyawa. Siu Lan berteriak membelah kebekuan salju dan menangis meraung-raung, tapi Lie Mei tetap tidak bergerak. Dengan segera, Siu Lan
membopong Lie Mei masuk ke rumah.
Siu Lan menggoncang- goncangkan tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan nama Lie Mei. Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan kecil dari tangan Lie Mei.
Siu Lan mengambil bungkusan kecil itu, dia membukanya. Isinya sebungkus kecil biskuit yang dibungkus kertas usang. Siu Lan mengenali tulisan pada kertas
usang itu adalah tulisan Lie Mei yang masih berantakan namun tetap terbaca *,"Hi..hi..hi. . mama pasti lupa. Ini hari istimewa buat mama. Aku membelikan
biskuit kecil ini untuk hadiah. Uangku tidak cukup untuk membeli biskuit ukuran besar. Hi…hi…hi.. mama selamat ulang tahun."*
menjajakannya di pasar untuk biaya hidup berdua. Hidup penuh kekurangan membuat Lie Mei tidak pernah bermanja-manja pada ibunya, seperti anak kecil
lain.
Suatu ketika dimusim dingin, saat selesai membuat kue, Siu Lan melihat keranjang penjaja kuenya sudah rusak berat. Dia berpesan agar Lie Mei menunggu
di rumah karena dia akan membeli keranjang kue yang baru.
Pulang dari membeli keranjang kue, Siu Lan menemukan pintu rumah tidak terkunci dan Lie Mei tidak ada di rumah. Marahlah Siu Lan.Putrinya benar-benar
tidak tahu diri, sudah hidup susah masih juga pergi bermain dengan teman-temannya. Lie Mei tidak menunggu rumah seperti pesannya.
Siu Lan menyusun kue kedalam keranjang, dan pergi keluar rumah untuk menjajakannya. Dinginnya salju yang memenuhi jalan tidak menyurutkan niatnya
untuk menjual kue. Bagaimana lagi ? Mereka harus dapat uang untuk makan.
Sebagai hukuman bagi Lie Mei, putrinya, pintu rumah dikunci Siu Lan dari luar agar Lie Mei tidak bisa pulang. Putri kecil itu harus diberi pelajaran, pikirnya
geram. Lie Mei sudah berani kurang ajar.
Sepulang menjajakan kue, Siu Lan menemukan Lie Mei, gadis kecil itu tergeletak di depan pintu. Siu Lan berlari memeluk Lie Mei yang membeku dan sudah
tidak bernyawa. Siu Lan berteriak membelah kebekuan salju dan menangis meraung-raung, tapi Lie Mei tetap tidak bergerak. Dengan segera, Siu Lan
membopong Lie Mei masuk ke rumah.
Siu Lan menggoncang- goncangkan tubuh beku putri kecilnya sambil meneriakkan nama Lie Mei. Tiba-tiba jatuh sebuah bungkusan kecil dari tangan Lie Mei.
Siu Lan mengambil bungkusan kecil itu, dia membukanya. Isinya sebungkus kecil biskuit yang dibungkus kertas usang. Siu Lan mengenali tulisan pada kertas
usang itu adalah tulisan Lie Mei yang masih berantakan namun tetap terbaca *,"Hi..hi..hi. . mama pasti lupa. Ini hari istimewa buat mama. Aku membelikan
biskuit kecil ini untuk hadiah. Uangku tidak cukup untuk membeli biskuit ukuran besar. Hi…hi…hi.. mama selamat ulang tahun."*
Menikah Setelah Menunggu 30Tahun
Bagi yang tidak percaya dengan keabadian cinta, sebaiknya mendengar cerita ini.
Desember lalu, setelah menunggu selama 30 tahun, sepasang kekasih dari Korea Utara dan Vietnam akhirnya bersatu dalam pernikahan. Tiga dasawarsa bukanlah waktu yang pendek, tapi mereka berhasil menjaga kesucian cinta mereka dari seberang lautan.
Kisah cinta ini bermula saat seorang mahasiswa kimia asal Vietnam pergi ke Korea Utara pada 1971 untuk belajar. Mahasiswa muda itu, Pham Ngoc Canh, jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang wanita yang sekilas dilihatnya melewati pintu laboratorium di Hamhung, tak jauh dari Pyongyang. Pham pun nekat menemui Ri Young-Hui. Mereka lalu bertukar hadiah, Pham memberi foto dan Ri memberikan alamat yang ditulis di sobekan kertas. Mereka bertemu diam-diam dan berpisah diam-diam.
Pham memberitahu ibu Ri agar memaksa putrinya menikah dengan pria lain saja karena mereka berdua tidak mungkin dipertemukan.
Rezim Korea Utara melarang warganya berhubungan dengan orang asing, meski dari negara komunis seperti Vietnam. Ri menolak saran Pham dan ibunya untuk menikah dengan pria lain. Bahkan ketika Pham pulang ke Hanoi karena tugas belajarnya selesai, Ri berusaha bunuh diri. Pham pun akhirnya bertekad untuk memperjuangkan cinta mereka. Dibantu oleh ibu Ri, kedua kekasih ini menjalin hubungan hanya lewat surat selama 20 tahun tanpa pernah bertemu sekalipun..
Surat terakhir diterimanya pada 1992. Mengetahui Ri tak mungkin memperjuangkan persatuan mereka kembali, Pham pun mengambil inisiatif untuk selalu mengusahakan pertemuan mereka kembali. Sebagai seorang penerjemah tim olahraga nasional, Pham beberapa kali mengunjungi Korea Utara. Kesempatan ini selalu digunakannya untuk menghubungi Ri. Namun, usahanya selalu gagal.
Orang-orang di Korea Utara selalu mengatakan, Ri telah menikah atau meninggal, tapi Pham lebih percaya kesejatian cinta Ri ketimbang omongan orang-orang. Ia menolak untuk percaya telah kehilangan kekasihnya. Pham juga pernah berusaha melunakkan kakunya birokrasi dengan membawa 40 surat cinta dalam bahasa Korea yang dikumpulkannya selama 20 tahun itu ke Kedutaan Besar Korea Utara di Hanoi. Ia berharap mereka mau membantu.
Namun usaha ini, seperti perjuangan sebelumnya, menemui ketidakpastian. Tahun-tahun terus berlalu dan rambut mereka sudah mulai beruban, namun cinta mereka tak juga pupus. Tahun lalu, Pham melakukan usaha terakhirnya saat ia mendengar delegasi politik Vietnam berkunjung ke Pyongyang. Ia kemudian menulis surat kepada Presiden dan Menteri Luar Negeri Vietnam. Usahanya kali ini tak sia-sia.
Beberapa bulan kemudian, ia mendapat jawaban yang ditunggunya selama 30 tahun:
Pemerintah Korea Utara mengizinkannya untuk menikahi Ri Young Hui. September lalu, pasangan yang telah berusia 50 tahunan itu bertemu kembali. Mereka pun sepakat untuk tidak menunda-nunda lagi pernikahan yang sudah lama dinantikan itu. Desember lalu, di Hanoi, keduanya menikah dengan dihadiri 700 tamu yang datang dengan mata berkaca-kaca.
Desember lalu, setelah menunggu selama 30 tahun, sepasang kekasih dari Korea Utara dan Vietnam akhirnya bersatu dalam pernikahan. Tiga dasawarsa bukanlah waktu yang pendek, tapi mereka berhasil menjaga kesucian cinta mereka dari seberang lautan.
Kisah cinta ini bermula saat seorang mahasiswa kimia asal Vietnam pergi ke Korea Utara pada 1971 untuk belajar. Mahasiswa muda itu, Pham Ngoc Canh, jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang wanita yang sekilas dilihatnya melewati pintu laboratorium di Hamhung, tak jauh dari Pyongyang. Pham pun nekat menemui Ri Young-Hui. Mereka lalu bertukar hadiah, Pham memberi foto dan Ri memberikan alamat yang ditulis di sobekan kertas. Mereka bertemu diam-diam dan berpisah diam-diam.
Pham memberitahu ibu Ri agar memaksa putrinya menikah dengan pria lain saja karena mereka berdua tidak mungkin dipertemukan.
Rezim Korea Utara melarang warganya berhubungan dengan orang asing, meski dari negara komunis seperti Vietnam. Ri menolak saran Pham dan ibunya untuk menikah dengan pria lain. Bahkan ketika Pham pulang ke Hanoi karena tugas belajarnya selesai, Ri berusaha bunuh diri. Pham pun akhirnya bertekad untuk memperjuangkan cinta mereka. Dibantu oleh ibu Ri, kedua kekasih ini menjalin hubungan hanya lewat surat selama 20 tahun tanpa pernah bertemu sekalipun..
Surat terakhir diterimanya pada 1992. Mengetahui Ri tak mungkin memperjuangkan persatuan mereka kembali, Pham pun mengambil inisiatif untuk selalu mengusahakan pertemuan mereka kembali. Sebagai seorang penerjemah tim olahraga nasional, Pham beberapa kali mengunjungi Korea Utara. Kesempatan ini selalu digunakannya untuk menghubungi Ri. Namun, usahanya selalu gagal.
Orang-orang di Korea Utara selalu mengatakan, Ri telah menikah atau meninggal, tapi Pham lebih percaya kesejatian cinta Ri ketimbang omongan orang-orang. Ia menolak untuk percaya telah kehilangan kekasihnya. Pham juga pernah berusaha melunakkan kakunya birokrasi dengan membawa 40 surat cinta dalam bahasa Korea yang dikumpulkannya selama 20 tahun itu ke Kedutaan Besar Korea Utara di Hanoi. Ia berharap mereka mau membantu.
Namun usaha ini, seperti perjuangan sebelumnya, menemui ketidakpastian. Tahun-tahun terus berlalu dan rambut mereka sudah mulai beruban, namun cinta mereka tak juga pupus. Tahun lalu, Pham melakukan usaha terakhirnya saat ia mendengar delegasi politik Vietnam berkunjung ke Pyongyang. Ia kemudian menulis surat kepada Presiden dan Menteri Luar Negeri Vietnam. Usahanya kali ini tak sia-sia.
Beberapa bulan kemudian, ia mendapat jawaban yang ditunggunya selama 30 tahun:
Pemerintah Korea Utara mengizinkannya untuk menikahi Ri Young Hui. September lalu, pasangan yang telah berusia 50 tahunan itu bertemu kembali. Mereka pun sepakat untuk tidak menunda-nunda lagi pernikahan yang sudah lama dinantikan itu. Desember lalu, di Hanoi, keduanya menikah dengan dihadiri 700 tamu yang datang dengan mata berkaca-kaca.
Sabtu, Agustus 02, 2008
Real Love -- based on true story in China
Ada sebuah kisah cinta yg menakjubkan dari China yang baru beredar belakangan ini dan mengharukan dunia.
Cerita mengenai kisah cinta seorang pria dan wanitanya yang lebih tua, yang kabur dari desa mereka dan hidup saling mencintai dgn tenang lebih dari setengah abad..
Pria China berusia lebih dari 70 tahun ini telah membuat lebih dari 6,000 anak tangga di gunung dengan tangannya sendiri untuk istrinya yg berusia 80 tahun. Pria bernama Liu Guo Jiang itu kini telah meninggal di rumah gua buatan mereka setelah tinggal di sana lebih dari 50 tahun.
50 tahun lalu, Liu Guo Jiang, seorang pemuda berusia 19 tahun, jatuh cinta pada seorang janda beranak satu berusia 29 tahun bernama Xu Chaoqin..
Tak jauh berbeda dgn kisah roman Shakespeare's Romeo dan Juliet,
teman serta kenalan mengkritik hubungan mereka karena perbedaan usia yang jauh dan lagi Xu telah mempunyai anak..
Di jaman itu, seorang pria mencintai wanita yang lebih tua adalah hal yang tak bisa diterima dan immoral. Untuk menghindari gossip dan ancaman terhadap hubungan mereka, pasangan itu memutuskan untuk melarikan diri dan hidup di gua di Jian Gjin di Southern ChongQing Municipality.
Pada awalnya, hidup begitu sulit karena mereka tak punya apa2, tak ada listrik dan makanan. Mereka harus makan rumput dan akar yang mereka temukan di gunung. Selain itu, Liu membuat lampu kerosin untuk menerangi rumah mereka.
Xu merasa ia telah mengikat Liu dan membuat hidupnya begitu sulit. Xu berulang kali menanyakan pada Liu, 'Apa kau menyesal?’
Dan Liu selalu menjawab, 'Selama kita rajin, hidup kita akan membaik.'
Mulai tahun kedua hidup bersama di gunung, Liu mulai membuat anak tangga dgn tangannya supaya istrinya bisa turun gunung dgn lebih mudah. Liu membuatnya terus menerus hingga 50 tahun kemudian.
Separuh abad kemudian di tahun 2001, sekelompok petualang menjelajah hutan dan terkejut menemukan pasangan tua di sana dan lebih dari 6,000 anak tangga buatan tangan.
Liu MingSheng, salah satu dari tujuh anak mereka berkata,
'Orang tuaku saling mencintai, mereka telah hidup terpencil lebih dari 50 tahun dan tak pernah berpisah satu hari pun. Ia membuatkan anak tangga untuk ibu, meskipun ibu tidak sering2 turun gunung.'
Pasangan itu telah hidup lebih dari 50 tahun sampai minggu lalu. Liu, yang telah berusia 72 tahun, setelah kembali dari bercocok tanam tiba-tiba pingsan. Xu duduk dan berdoa dgn suaminya saat suaminya meninggal dalam pelukannya. Liu begitu mencintai Xu sehingga orang-orang sulit untuk melepaskan pegangan tangannya pada istrinya bahkan setelah ia meninggal.
Pada tahun 2006, kisah mereka menjadi salah satu dari 10 kisah cinta terbaik dari China , yang dikumpulkan oleh Chinese Women Weekly. Pemerintah local memutuskan untuk merawat Tangga cinta dan tempat yang mereka tinggali sebagai museum, supaya kisah cinta ini bisa hidup selamanya..
Cerita mengenai kisah cinta seorang pria dan wanitanya yang lebih tua, yang kabur dari desa mereka dan hidup saling mencintai dgn tenang lebih dari setengah abad..
Pria China berusia lebih dari 70 tahun ini telah membuat lebih dari 6,000 anak tangga di gunung dengan tangannya sendiri untuk istrinya yg berusia 80 tahun. Pria bernama Liu Guo Jiang itu kini telah meninggal di rumah gua buatan mereka setelah tinggal di sana lebih dari 50 tahun.
50 tahun lalu, Liu Guo Jiang, seorang pemuda berusia 19 tahun, jatuh cinta pada seorang janda beranak satu berusia 29 tahun bernama Xu Chaoqin..
Tak jauh berbeda dgn kisah roman Shakespeare's Romeo dan Juliet,
teman serta kenalan mengkritik hubungan mereka karena perbedaan usia yang jauh dan lagi Xu telah mempunyai anak..
Di jaman itu, seorang pria mencintai wanita yang lebih tua adalah hal yang tak bisa diterima dan immoral. Untuk menghindari gossip dan ancaman terhadap hubungan mereka, pasangan itu memutuskan untuk melarikan diri dan hidup di gua di Jian Gjin di Southern ChongQing Municipality.
Pada awalnya, hidup begitu sulit karena mereka tak punya apa2, tak ada listrik dan makanan. Mereka harus makan rumput dan akar yang mereka temukan di gunung. Selain itu, Liu membuat lampu kerosin untuk menerangi rumah mereka.
Xu merasa ia telah mengikat Liu dan membuat hidupnya begitu sulit. Xu berulang kali menanyakan pada Liu, 'Apa kau menyesal?’
Dan Liu selalu menjawab, 'Selama kita rajin, hidup kita akan membaik.'
Mulai tahun kedua hidup bersama di gunung, Liu mulai membuat anak tangga dgn tangannya supaya istrinya bisa turun gunung dgn lebih mudah. Liu membuatnya terus menerus hingga 50 tahun kemudian.
Separuh abad kemudian di tahun 2001, sekelompok petualang menjelajah hutan dan terkejut menemukan pasangan tua di sana dan lebih dari 6,000 anak tangga buatan tangan.
Liu MingSheng, salah satu dari tujuh anak mereka berkata,
'Orang tuaku saling mencintai, mereka telah hidup terpencil lebih dari 50 tahun dan tak pernah berpisah satu hari pun. Ia membuatkan anak tangga untuk ibu, meskipun ibu tidak sering2 turun gunung.'
Pasangan itu telah hidup lebih dari 50 tahun sampai minggu lalu. Liu, yang telah berusia 72 tahun, setelah kembali dari bercocok tanam tiba-tiba pingsan. Xu duduk dan berdoa dgn suaminya saat suaminya meninggal dalam pelukannya. Liu begitu mencintai Xu sehingga orang-orang sulit untuk melepaskan pegangan tangannya pada istrinya bahkan setelah ia meninggal.
Pada tahun 2006, kisah mereka menjadi salah satu dari 10 kisah cinta terbaik dari China , yang dikumpulkan oleh Chinese Women Weekly. Pemerintah local memutuskan untuk merawat Tangga cinta dan tempat yang mereka tinggali sebagai museum, supaya kisah cinta ini bisa hidup selamanya..
Tidak apa-apa, saya pasti besok akan mengatakannya
Pada suatu tempat, hiduplah seorang anak. Dia hidup dalam keluarga yang bahagia, dengan orang tua dan sanak keluarganya. Tetapi, dia selalu mengangap itu sesuatu yang wajar saja. Dia terus bermain, mengganggu adik dan kakaknya, membuat masalah bagi orang lain adalah kesukaannya. Ketika ia menyadari kesalahannya dan mau minta maaf, dia selalu berkata, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."
Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Tetapi, dia anggap itu wajar-wajar saja. Semua begitu saja dijalaninya sehingga dia anggap semua sudah sewajarnya. Suatu hari, dia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak pernah mengambil inisiatif untuk minta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."
Ketika dia agak besar, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu, tapi mereka tidak pernah saling tegur. Tapi itu bukanlah masalah, karena dia masih punya banyak teman baik yang lain. Dia dan teman-temannya melakukan segala sesuatu bersama-sama, main, kerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-temannya yang paling baik.
Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia bertemu seorang cewek yang sangat cantik dan baik. Cewek ini kemudian menjadi pacarnya. Dia begitu sibuk dengan kerjanya, karena dia ingin dipromosikan ke posisi paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Tentu, dia rindu untuk bertemu teman-temannya. Tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka, bahkan lewat telepon. Dia selalu berkata, "Ah, aku capek, besok saja aku hubungin mereka." Ini tidak terlalu mengganggu dia
karena dia punya teman-teman sekerja selalu mau diajak keluar.
Jadi, waktu pun berlalu, dia lupa sama sekali untuk menelepon teman-temannya.
Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras agar dapat membahagiakan keluarganya. Dia tidak pernah lagi membeli bunga untuk istrinya, atau pun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari
pernikahan mereka. Itu tidak masalah baginya, karena istrinya selalu mengerti dia, dan tidak pernah menyalahkannya.
Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan untuk mengatakan pada istrinya "Aku cinta kamu", tapi dia tidak pernah melakukannya. Alasannya, "Tidak apa-apa, saya pasti besok akan
mengatakannya." Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, tapi dia tidak tahu ini akan perpengaruh pada anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya, dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya.
Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan, istrinya ditabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, dia sedang ada rapat. Dia tidak sadar bahwa itu kecelakaan yang fatal, dia baru datang saat istrinya akan dijemput maut. Sebelum sempat berkata "Aku mencintaimu", istrinya telah meninggal dunia. Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba menghibur diri melalui anak-anaknya setelah kematian istrinya. Tapi, dia baru sadar bahwa anak-anaknya tidak pernah mau berkomunikasi dengannya. Segera, anak-anaknya dewasa dan membangun keluarganya masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orang tua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktunya untuk mereka.
Saat mulai renta, Dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Dia menggunakan uang yang semula disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60, dan 70. Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi ke Hawaii, New Zealand, dan negara-negara lain bersama istrinya, tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut. Sejak itu sampai dia meninggal, hanya ada orang-orang tua dan suster yang merawatnya. Dia kini merasa sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
Saat dia mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, "Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu...." Kemudian perlahan ia menghembuskan napas terakhir, dia meninggal dunia dengan air mata dipipinya.
Ketika agak besar, sekolah sangat menyenangkan baginya. Dia belajar, mendapat teman, dan sangat bahagia. Tetapi, dia anggap itu wajar-wajar saja. Semua begitu saja dijalaninya sehingga dia anggap semua sudah sewajarnya. Suatu hari, dia berkelahi dengan teman baiknya. Walaupun dia tahu itu salah, tapi tidak pernah mengambil inisiatif untuk minta maaf dan berbaikan dengan teman baiknya. Alasannya, "Tidak apa-apa, besok kan bisa."
Ketika dia agak besar, teman baiknya tadi bukanlah temannya lagi. Walaupun dia masih sering melihat temannya itu, tapi mereka tidak pernah saling tegur. Tapi itu bukanlah masalah, karena dia masih punya banyak teman baik yang lain. Dia dan teman-temannya melakukan segala sesuatu bersama-sama, main, kerjakan PR, dan jalan-jalan. Ya, mereka semua teman-temannya yang paling baik.
Setelah lulus, kerja membuatnya sibuk. Dia bertemu seorang cewek yang sangat cantik dan baik. Cewek ini kemudian menjadi pacarnya. Dia begitu sibuk dengan kerjanya, karena dia ingin dipromosikan ke posisi paling tinggi dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Tentu, dia rindu untuk bertemu teman-temannya. Tapi dia tidak pernah lagi menghubungi mereka, bahkan lewat telepon. Dia selalu berkata, "Ah, aku capek, besok saja aku hubungin mereka." Ini tidak terlalu mengganggu dia
karena dia punya teman-teman sekerja selalu mau diajak keluar.
Jadi, waktu pun berlalu, dia lupa sama sekali untuk menelepon teman-temannya.
Setelah dia menikah dan punya anak, dia bekerja lebih keras agar dapat membahagiakan keluarganya. Dia tidak pernah lagi membeli bunga untuk istrinya, atau pun mengingat hari ulang tahun istrinya dan juga hari
pernikahan mereka. Itu tidak masalah baginya, karena istrinya selalu mengerti dia, dan tidak pernah menyalahkannya.
Tentu, kadang-kadang dia merasa bersalah dan sangat ingin punya kesempatan untuk mengatakan pada istrinya "Aku cinta kamu", tapi dia tidak pernah melakukannya. Alasannya, "Tidak apa-apa, saya pasti besok akan
mengatakannya." Dia tidak pernah sempat datang ke pesta ulang tahun anak-anaknya, tapi dia tidak tahu ini akan perpengaruh pada anak-anaknya. Anak-anak mulai menjauhinya, dan tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu mereka dengan ayahnya.
Suatu hari, kemalangan datang ketika istrinya tewas dalam kecelakaan, istrinya ditabrak lari. Ketika kejadian itu terjadi, dia sedang ada rapat. Dia tidak sadar bahwa itu kecelakaan yang fatal, dia baru datang saat istrinya akan dijemput maut. Sebelum sempat berkata "Aku mencintaimu", istrinya telah meninggal dunia. Laki-laki itu remuk hatinya dan mencoba menghibur diri melalui anak-anaknya setelah kematian istrinya. Tapi, dia baru sadar bahwa anak-anaknya tidak pernah mau berkomunikasi dengannya. Segera, anak-anaknya dewasa dan membangun keluarganya masing-masing. Tidak ada yang peduli dengan orang tua ini, yang di masa lalunya tidak pernah meluangkan waktunya untuk mereka.
Saat mulai renta, Dia pindah ke rumah jompo yang terbaik, yang menyediakan pelayanan sangat baik. Dia menggunakan uang yang semula disimpannya untuk perayaan ulang tahun pernikahan ke 50, 60, dan 70. Semula uang itu akan dipakainya untuk pergi ke Hawaii, New Zealand, dan negara-negara lain bersama istrinya, tapi kini dipakainya untuk membayar biaya tinggal di rumah jompo tersebut. Sejak itu sampai dia meninggal, hanya ada orang-orang tua dan suster yang merawatnya. Dia kini merasa sangat kesepian, perasaan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
Saat dia mau meninggal, dia memanggil seorang suster dan berkata kepadanya, "Ah, andai saja aku menyadari ini dari dulu...." Kemudian perlahan ia menghembuskan napas terakhir, dia meninggal dunia dengan air mata dipipinya.
I cried for my brother six times
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil.
Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit.
Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya,
Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.
Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara.
Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.
Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang?
Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami.
Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.
Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin.
Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya?
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga(di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
"Saya melihat semua gadis kota memakainya.
Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya.
"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Sumber: Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times"
Based On True Story
Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit.
Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya,
Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.
Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara.
Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.
Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang?
Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami.
Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.
Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin.
Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..." Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya?
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga(di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan,
"Saya melihat semua gadis kota memakainya.
Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya.
"Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."
Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Sumber: Diterjemahkan dari "I cried for my brother six times"
Based On True Story
Langganan:
Postingan (Atom)